الأربعاء، 22 ديسمبر 2010

Empati dan Identitas Sosial

ini, pemahaman kita sebagai bangsa ber-Bhinneka Tunggal Ika perlu dipertanyakan kembali. Apakah identitas sosial kita masih berbatas suku dan agama semata, atau sudah mencapai kesadaran beridentitas kebangsaan?

Meluaskan empati

Kesadaran identitas sosial dalam meningkatkan kapasitas empati sebenarnya dapat dilakukan dengan lebih menambah kesadaran diri (self-aware autonomy) dan mengurangi tendensi mengklaim apa yang benar dan yang salah. Kesadaran diri berarti lebih mawas terhadap kekurangan diri sendiri dan batasan-batasan yang dimiliki. Hal ini bukan berarti kita melepaskan kebebasan individual yang kita miliki, tetapi lebih pada bahwa kita sadar setiap orang punya keunikan dan kelebihan, yang dapat memenuhi kekurangan yang kita miliki.

Psikolog perkembangan, Robert Kegan, menyatakan, dalam usaha membuat masyarakat saling hidup berdampingan dalam lingkungan dan gaya hidup yang beraneka ragam, kita perlu keterbukaan dan pemahaman akan reaksi yang kita rasakan terhadap perbedaan daripada mengurung diri dari perbedaan. Dengan kata lain, mampu berdamai dengan diri dan orang lain.

Kesadaran diri juga ditunjukkan dengan menerima adanya hak asasi yang dimiliki masing- masing manusia, yang selama abad ke-20 gerakan ini mampu mengurangi kekerasan person to person terhadap perbedaan ras, jender, dan seksualitas. Dengan mengurangi tendensi membuat penilaian dikotomis, benar-salah, hitam-putih, juga dapat dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas empati yang kita miliki.

Meskipun klise, pendidikan juga jadi sarana membangun kesadaran akan sensibilitas sosial, membangun empati. Menurut Sir Ken Robinson dalam Changing Education Paradigms, pendidikan (umum) secara normatif dibuat atas adanya dua alasan: pertama, alasan ekonomi, perihal bagaimana mendidik anak-anak kita agar dapat bersaing di masa depan, dan kedua, alasan budaya, perihal bagaimana mendidik anak-anak agar dapat mengenal latar belakang budaya dari mana mereka berasal sebagai pembentukan identitas dalam pembauran globalisasi.

Sayangnya, sistem pendidikan yang terbentuk saat ini masih bermodel industrialisasi; sekolah disusun menyerupai pabrik, dengan adanya bunyi bel tanda masuk dan berakhir pelajaran, pembedaan fasilitas umum, kurikulum yang terspesialisasi dan terdiri atas bermacam-macam pelajaran, serta pendidikan berdasarkan usia dan tingkat kelas. Tujuan utama pendidikan hanya terfokus pada alasan ekonomi, di mana dalam proses pendidikan anak-anak diajarkan berpikir secara konvergen, linier, untuk mengejar target nilai berdasarkan standardisasi tes tertentu.

Pendidikan yang mengajarkan identitas budaya, mengajarkan juga pengalaman-pengalaman estetis terhadap seni dan budaya, di mana rasa (sense) digunakan dan tujuan dari pendidikan yang bukan konvergen, tetapi divergen. Artinya, sasaran pendidikan adalah untuk melatih dan membangun sensibilitas sosial. Belajar memahami bahwa dalam satu pertanyaan tak hanya terdapat satu jawaban yang benar. Dalam pemikiran konvergen, kita terbiasa untuk mencari satu jawaban yang benar di antara pilihan. Sebaliknya, di dalam pemikiran divergen, tidak ada jawaban yang paling dianggap benar.Dengan terbiasa akan adanya perbedaan dan tak mengabsolutkan satu kebenaran, rasa empati kita akan meluas dan tak hanya terbatas pada identitas kelompok pengenalan dan pendidikan empati dapat dijadikan agenda penting membangun kehidupan berbangsa yang berfondasikan keragaman, menuju kehidupan yang lebih harmonis dan damai di masa depan.

Maya Dania Mahasiswi Pascasarjana Filsafat UGM dan Pengajar di CILACS UII

View the Original article

0 Responses to “ Empati dan Identitas Sosial ”

pic2

visitors bag

free counters